Pancasila dan “Politik Identitas”; Refleksi Terhadap Warisan Terbaik Pendiri Bangsa

Oleh : Agung Wahyudi

Sebuah ancaman besar mengintai bangsa Indonesia. Meminjam istilah Mohandas K. Gandhi, Indonesia terjangkiti “tujuh dosa sosial” : politik tanpa prinsip, kekayaan tanpa kerja keras, perniagaan tanpa karakter, sains tanpa humanitas, dan peribadatan tanpa pengorbanan.

berjalan terus tanpa henti

Tujuh dosa sosial ini, saat ini seolah menjadi warna kehidupan bangsa kita. Kehidupan politik yang mestinya menjadi ujung tombak dari sebuah keberadaban, kini terjerumus ke dalam apa yang oleh Machiavelli ia sebut sebagai “Kota korup”.

Tiap warga seakan berlomba mengkhianati bangsanya sendiri. Rasa saling percaya memudar. Hukum dan institusi hukumnya lumpuh sehingga tidak mampu menghalau penyalahgunaan kekuasaan. Ketamakan dan hasrat meraih kehormatan dalam bentuk kekayaan dan jabatan merajalela.

Kehidupan publik seolah merefleksikan nilai moralitas kita. Praktik politik tereduksi menjadi sekadar perjuangan demi kuasa. Yang belum berkuasa berteriak demi rakyat demi bangsa, saat berkuasa dengan enteng mempertontonkan pengkhianatan kepada rakyat.

Akutnya penyakit yang kita hadapi sekarang ini mengisyaratkan bahwa kita memerlukan visi politik baru untuk memulihkan kondisi kita. Dan karena penyakit ini pada dasarnya berakar pada krisis moralitas dan etos yang melanda jiwa bangsa maka, solusi penyembuhannya pun membutuhkan penguatan karakter bangsa berlandaskan falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia sendiri tentunya.

Pancasila sebagai Leitstar Bangsa Indonesia

Ibarat pohon, suatu bangsa sehat jika akarnya tidak tercerabut dari “tanah sejarahnya”, ekosistem sosial-budayanya, sistem pemaknaan hidup, dan pandangan dunianya. Pancasila lahir sebagai leitstar (bintang penuntun) dengan pertimbangan aspek-aspek ini dalam rangka menopang kelangsungan sekaligus kejayaan bangsa.

Disebabkan ketidaktaatan, keteledoran, penyelewengan, atau mungkin ketidakpahaman atas nilai-nilai Pancasila, terutama oleh penyelenggara negara sehingga bintang penuntun bangsa Indonesia pun redup tertutup kabut, dan perlahan-lahan timbul kegelapan dalam “rumah kebangsaan” kita.

Kita semua akhirnya dipaksa mencari solusi atas persoalan negeri ini di luar “rumah”, pada tempat-tempat yang tampak terang benderang. Karena rumah kita kadung gelap akibat dosa-dosa yang kita lakukan sendiri baik secara sadar maupun tidak.

Padahal jika kita mau mencari solusi itu sesungguhnya bisa kita temukan dari falsafah dan pandangan hidup negara Indonesia: Pancasila. Yang kita butuhkan hanya mengikuti cara para pendiri bangsa kita menggali mutiara yang terpendam di dalam bangsa ini dan mengaktualisasikannya untuk masa kini dan masa depan bangsa Indonesia.

“Politik Identitas”: Harapan Bangsa Kedepan

Dengan menggali lapis demi lapis sejarah perjuangan para pendiri bangsa kita akan menemukan bahwa warisan terbaik yang mereka tinggalkan untuk generasi ini adalah politik harapan yang penulis ingin menyebutnya dengan politik identitas.

Republik ini berdiri di atas tiang identitas: persatuan, kemerdekaan, kedaulatan, keadilan dan kemakmuran. Jika kita kehilangan identitas ini sebagai bangsa maka, harapan kejayaan kita pun pasti sirna seiring waktu cepat atau lambat.

Harapan tanpa visi dapat membawa kesesatan. Maka upaya menyemai ‘politik Identitas’ harus memperkuat kembali visi yang mempertimbangkan warisan baik masa lalu, peluang masa kini dan keampuhan mengantisipasi masa depan. Dalam rangka itulah, warisan terbaik pendiri bangsa berupa Pancasila seharusnya kita refleksikan terus menerus. Tidak hanya di momentum 1 Juni atau 1 Oktober. Tapi setiap waktu. Setiap hari.

Dan jika semua anak bangsa khususnya penyelenggara negara (pemimpin) melakukannya, saya yakin para pendiri bangsa kita tersenyum manis (di sana) melihat kita menikmati warisannya, saat ini, di sini, bersama seluruh tumpah darah bangsa Indonesia. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *