Opini: Haji Gunung Bawakaraeng

Oleh: Prof. Dr. H. Abd. Rasyid Masri, M.Si., M.Pd., M.M
(Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar 2023-2027)

Problem sosiologis dari keberagamaan di Indonesia salah satunya sering tercipta benturan agama dan budaya masyarakat lokal dimana jauh sebelum Islam datang sebagai agama baru masyarakat lokal sudah memiliki kepercayaan dan ritual keagamaan dalam memenuhi rasa penasaran akan adanya Tuhan yang mengatur hidup dan kematian.

Fenomena ritual keagamaan Haji bawakaraeng menjadi tradisi keagamaan di Sulawesi Selatan dan tak ditemukan di daerah lain, yakni Islam tradisional di Sinjai dan sekitarnya yang mengenal ritual musiman Haji di Bawakaraeng.

Kenapa ada keyakinan bahwa naik Haji ke Bawakaraeng sama derajatnya dan dianggap oleh masyarakat yang meyakininya sederajat dengan naik Haji ke baitullah di Mekkah Arab Saudi?

Haji di puncak Gunung Bawakaraeng yang terletak di kecamatan Tinggi Moncong Kabupaten Gowa, dimana untuk mencapai puncak Bawakaraeng tidaklah mudah bahkan harus berhadapan dengan ancaman maut yang suatu waktu mengintainya.

Irsadi, calon sarjana jurusan Manejamen Haji dan Umrah Fakultas Dakwah dan Komunikasi UINAM mencoba melakukan observasi awal untuk menjawab rasa penasaran tentang adanya Haji di Gunung Bawakaraeng namun masih kesulitan menemukan alasan yang bisa diterima nalar bagi penganut Islam kebanyakan, sehingga ingin meneliti lebih jauh untuk membongkar praktek ritual keagamaan tersebut.

Bila disorot secara sosiologis ini adalah tradisi ritual keagamaan dalam kemasan budaya lokal, dan setelah kita dekat lebih dalam, tentu berkorelasi dengan tingkat pemahaman ajaran Islam yang terbatas dan boleh jadi juga solusi jalan pintas bagi yang mau berhaji tapi ekonominya terbatas, miskin ekonomi dan miskin pemahaman agama Islam.

Padahal perintah Allah bagi umat Islam termuat dalam firman Allah swt, QS. Ali Imran 97. Bahwa mengerjakan Haji itu adalah kewajiban manusia terhadap Allah bagi orang yang sanggup perjalanan ke Batullah. Tentu maksudnya ke Mekkah bukan ke puncak gunung Bawakaraeng sebagaimana diimani orang Islam di sekitar Sinjai.

Kepercayaan selalu berhubungan hal hal yang transendental, hal yang gaib sehingga menghadirkan kesadaran pada dunia yg tidak tampak, tentu hal tersebut di luar nalar dan panca indra secara kebudayaan adalah dunia dikira budaya manusia walau tetap bersentuhan dengan budaya cipta rasa manusia.

Haji Bawakaraeng bisa juga dihubungkan dengan emosi keagamaan, walaupun setia orang memiliki emosi keagamaan yang berbeda sesuai dengan apa yang dialami dan dirasakan pemujanya.

Emosi keagamaan itulah yang akan mendorong tindakan ritual keagamaan seperti tindakan fenomena Haji Bawakaraeng.

Mereka tidak paham secara baik bagaimana mengimani, berislam secara utuh bagaimana dasar perintah Haji, terutama syarat rukun Haji yang bisa membatalkan atau diterimanya Haji seseorang.

Pertanyaan terakhir bagaimana praktiknya, ihram, wukuf, bentuk tawafnya, sa’i ditambah wajib Haji lainnya bila ditinggalkan wajib diganti dengan DAM/ Fidyah contoh melontar jumrah, berihram pada miqat zaman dan makani, mabit di Musdalifah setelah wukuf di Arafah, mabit di Mina sampai tawaf wada. Semua ini tentu menjadi keharusan sebagai bagian dari kesempurnaan untuk menuju Haji mabrur. Wallahu A’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *