Refleksi: Hari Buruh, Skil dan Kemandirian

Hari ini diperingati Hari Buruh (1 Mei 2024 M). Saya kebetulan membaca sebuah buku dan dapat sebuah sub tema skill (keterampilan)
Sebagai manusia yang ideal, sebagai muslim yang ideal adalah muslim yang memiliki beragam skill.

Potret ini, ada dikehidupan seorang Nabi yang Agung. Nabi Muhammad saw, awalnya dikenal sebagai pengembala, lalu menjadi pengusaha dan lain-lain.

Ketika salah satu pekerjaan yang dianggap tidak bergengsi oleh masyarakat, namun Nabi menjadikannya pekerjaan itu memiliki derajat tersendiri, yah itulah jadi pengembala.

Sebagaimana hadist Nabi, “Allah tidak mengutus seorang nabi pun kecuali ia pernah menjadi pengembala kambing.” Mereka bertanya,” Apakah Kau juga?” Ya, Aku mengembalanya dengan upah untuk penduduk Makkah,” Jawab Nabi. (HR. Bukhari)

Begitupun dengan Nabi Musa, Ia adalah pekerja profesional yang sangat talenta, jujur dan amanah. Sehingga sang anak dari si bapak yang ingin mempekerjakan Nabi Musa memberikan testimoni langsung,
“Wahai Ayah, pekerjakan Ia. Sesungguhnya sebaik-baik orang yang kau pekerjakan adalah orang yang kuat dan amanah.” (al Qashash: 26)

Sang anak itu memberikan julukan dengan sebutan “al qawiyul amin” kuat dan amanah.

Tentu ini merupakan modal utama sebagai muslim. Sebagai muslim harus kuat bekerja, harus profesional, dan yang sangat penting harus jujur. Sebab jujur merupakan tolok ukur ahlak islam yang mampu dirakan oleh manusia.

Islam tidak mentolerir adanya pengangguran apalagi malas-malasan. hal itu dicontohkan langsung oleh nabi ketika didatangi oleh sahabat untuk meminta sesuatu, justru Nabi Muhammad masuk mengambil Kapak dan menyerahkan kepada orang tersebut.

Kapak itu memberi sinyal tentang kerja keras, mencari kayu bakar lalu menjualnya. Itu memberi makna bahwa bekerja keras, bekerja dengan tangan sendiri itu lebih mulia, dibanding mencari aman dengan mengandalkan meminta-minta ke orang lain.

“Tiada seorang yang menyantap makana lebih baik dibanding orang yang menyantap makanan dari kerja tangannya sendiri (mandiri). Dan Nabi Allah Daud as. dahulu juga makan dari hasil kerja tangannya sendiri.” (HR. Bukhari)

Islam tidak menetapkan standar pekerjaan, bahwa harus bekerja seperti ini baru mulia, harus berprofesi seperti ini baru derajatnya terangkat. Tapi Islam menuntun penganutnya agar hidup mandiri dengan kerja kerasnya.Apapun pekerjaannya, asal itu adalah pekerjaan yang halal tidak menzalimi orang lain.

Hal itu sudah ditekankan oleh Nabi, “Jika Kalian berjual beli dengan ‘inah (praktek akal-akalan untuk mendapatkan riba), memegangi ekor sapi, puas dengan pertanian, dan meninggalkan jihad, niscaya Allah akan menimpakan kehinaan yang tidak akan dicabut-Nya hingga kalian kembali kepada agama kalin.” (HR. Abu Daud)

Jika demikian, tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk bekerja ala kadarnya, memiliki hanya satu skill, hanya satu sisi income lalu puas dengan itu, padahal kalau dia bisa maksimalkan ia bisa mendapatkan lebih dari itu.

Terlebih, seorang muslim dituntut untuk mengahdirkan solusi pada persoalan yang dihadapi sesuai tuntutan zamannya masing-masing. Tentu suatu hal yang mutlak adalah jika ingin menyelasaian banyak persoalan, harus memiliki skil yang multi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *