LENTERA.PRESS – Dalam setiap langkah perjuangan dakwah dan aktivitas ibadah, penting bagi kita semua untuk senantiasa mengedepankan nilai-nilai syariat yang berlandaskan pada ilmu, akhlak, dan kejujuran. Baru-baru ini, kita dihadapkan pada suatu peristiwa yang menjadi ujian bagi integritas organisasi kita: perjalanan ibadah umrah yang dibiayai oleh pihak eksternal dengan syarat tertentu yang meragukan.
Dari sisi fikih ibadah, keabsahan suatu amal seperti umrah bergantung pada terpenuhinya syarat dan rukun. Maka, jika seseorang melaksanakan umrah dengan memenuhi seluruh rukun dan syaratnya, ibadah tersebut sah secara hukum fikih, meskipun sumber dananya berasal dari hadiah.
Namun, fiqh muamalah dan ushul fiqh memberi kita alat untuk melihat lebih dalam — bukan hanya pada keabsahan formal, tapi juga pada kemurnian niat, integritas sumber, dan dampak sosial dari amal tersebut. Jika hadiah tersebut diberikan dengan syarat-syarat tersembunyi atau bahkan terang-terangan yang bertentangan dengan nilai perjuangan, maka hadiah itu menjadi masalah etika syar’i. Ini bukan lagi soal sah atau tidaknya ibadah, tetapi layak atau tidaknya secara moral dan maqashid syariah.
Kaidah ushul fiqh mengajarkan:
“Dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih”
Menolak keburukan lebih utama daripada meraih kebaikan.
Sebagai contoh, bayangkan kita sedang dalam perjalanan ke masjid untuk shalat, namun melihat seseorang tenggelam di sungai. Dalam kondisi itu, kita wajib menyelamatkan nyawa karena itu merupakan bentuk prioritas dalam syariat. Demikian pula, menjaga integritas organisasi dan menolak sumber yang bermasalah menjadi prioritas yang lebih utama dibanding menerima manfaat pribadi, walau itu berbentuk ibadah.
Kita harus memahami bahwa hadiah atau fasilitas dari pihak eksternal tidak boleh diterima jika:
- Mengandung unsur haram dalam sumbernya,
- Diberikan dengan syarat yang bertentangan dengan syariat,
- Menimbulkan kerusakan sosial, politik, atau moral dalam organisasi.
Dalam konteks yang terjadi, pemberian biaya umrah kepada Ketua Umum KAMMI justru menimbulkan mafsadah (kerusakan) yang besar. Bukan hanya menjadi bahan ejekan dan perpecahan, tapi juga mencederai kepercayaan publik, melemahkan independensi, dan membuka celah praktik transaksional yang berbau risywah (suap).
Pelajaran dari Maqashid Syariah dan Ushul Fiqh
Ushul fiqh mengajarkan prinsip:
“Sadd al-dzari’ah” – Menutup segala jalan yang mengarah pada keburukan.
Tindakan menerima hadiah semacam itu — terutama dari pihak yang berkepentingan terhadap gerakan mahasiswa — adalah dzari’ah (pintu) menuju kerusakan struktural dan moral. Syariat Islam bertujuan melindungi lima hal: agama (din), jiwa (nafs), akal (‘aql), harta (mal), dan kehormatan (‘irdh). Dan jelas, kasus ini telah mencederai kehormatan dan kepercayaan organisasi.
Kaidah lain menyebut:
“Al-jaza’u min jinsil ‘amal”
Balasan itu sesuai dengan bentuk perbuatan.
Maka, langkah penjatuhan sanksi moral dan struktural kepada Ketua Umum merupakan bentuk keadilan dan edukasi, bukan hanya bagi individu tersebut, tetapi bagi seluruh kader agar lebih mawas diri dan menjaga muru’ah (kehormatan diri dan organisasi).
Maka dari itu,
- Secara fikih, ibadah umrah tetap sah bila dilakukan sesuai rukun dan syaratnya.
- Namun secara maqashid dan ushul fiqh, hadiah dengan syarat yang mencederai nilai perjuangan dan integritas organisasi harus ditolak.
- Prinsip prioritas nilai mengajarkan bahwa menjaga kepercayaan publik dan kemurnian perjuangan lebih utama daripada meraih kebaikan pribadi yang temporer.
- Tindakan Ketua Umum telah menimbulkan kerusakan nyata, dan perlu menjadi pelajaran bersama.
Yang harus ditekankan, Bahwa Tindakan Ketua Umum adalah personal dan tidak mencerminkan sikap organisasi kepemudaan secara keseluruhan.
Oleh: Fathiyakan Abdullah