Opini: Petani Butuh Kesejahteraan, Bukan Sekadar Ucapan Hari Tani

LENTERA.PRESS – Indonesia kerap digambarkan sebagai negara agraris dengan kekayaan alam yang melimpah. Sebagai negara tropis yang luas, kita memiliki potensi besar dalam sektor pertanian, perkebunan, hingga hasil laut. Ironisnya, potensi itu belum sepenuhnya berbanding lurus dengan kesejahteraan petani, aktor utama yang menjaga ketahanan pangan bangsa.

Peringatan Hari Tani Nasional setiap 24 September sering kali hanya menjadi seremonial belaka. Spanduk, slogan, dan ucapan selamat bertebaran di ruang publik, seolah-olah cukup untuk memberi penghormatan kepada petani. Padahal, yang mereka butuhkan bukan sekadar simbolisasi, melainkan kepastian hidup yang lebih sejahtera.

Hari ini, petani menghadapi persoalan klasik yang kian pelik: harga pupuk dan bibit yang terus naik, keterbatasan akses modal, dan harga jual hasil panen yang sering kali tidak sebanding dengan biaya produksi. Sementara itu, harga kebutuhan pokok bagi keluarga petani terus melambung. Akibatnya, petani justru berada dalam lingkaran kemiskinan struktural—sebuah ironi bagi bangsa yang disebut lumbung pangan dunia.

Padahal, secara regulasi, negara telah memiliki instrumen hukum yang cukup kuat. UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani serta UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan secara jelas melegitimasi kewajiban negara melindungi petani. Undang-undang tersebut seharusnya menjadi dasar bagi pemerintah dalam menata sistem pertanian agar lebih berkeadilan. Namun, implementasi di lapangan masih jauh dari ideal.

Kenyataannya, petani masih berhadapan dengan permainan harga pasar yang tidak menentu. Saat panen raya, harga hasil bumi jatuh, sementara biaya produksi tetap tinggi. Belum lagi ancaman alih fungsi lahan pertanian yang kian masif, membuat generasi muda enggan melanjutkan profesi sebagai petani. Jika kondisi ini dibiarkan, ketahanan pangan nasional bisa terancam serius.

Yang dibutuhkan para petani saat ini adalah kebijakan nyata yang berpihak pada kesejahteraan mereka. Pemerintah harus menjamin ketersediaan pupuk dan bibit dengan harga terjangkau, memperkuat akses permodalan, serta memastikan distribusi dan rantai pasok hasil panen berjalan adil tanpa dimonopoli tengkulak. Lebih jauh, perlu adanya kepastian harga dasar hasil pertanian sehingga petani tidak lagi dirugikan saat panen melimpah.

Selain itu, reformasi sektor pertanian juga harus menyentuh aspek regenerasi. Anak-anak muda perlu didorong untuk kembali melihat pertanian sebagai sektor yang menjanjikan, bukan sekadar pekerjaan kelas bawah. Dukungan teknologi pertanian, akses digitalisasi, hingga pendidikan vokasi pertanian bisa menjadi solusi agar pertanian tidak ditinggalkan oleh generasi penerus.

Kesejahteraan petani bukan hanya kepentingan kelompok tertentu, tetapi menyangkut masa depan bangsa. Tanpa petani yang sejahtera, kita akan mudah tergantung pada impor pangan, kehilangan kedaulatan, bahkan rawan menghadapi krisis sosial akibat ketidakstabilan harga pangan.

Oleh karena itu, Hari Tani seharusnya tidak lagi diperingati hanya dengan seremoni, melainkan dengan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pertanian nasional. Ucapan selamat tanpa tindakan nyata hanyalah basa-basi. Saatnya negara hadir, bukan sekadar memberi penghormatan, tetapi memberikan jaminan kesejahteraan yang layak bagi para petani.

Karena sejatinya, petani tidak menuntut banyak. Mereka hanya ingin modal yang dikeluarkan sebanding dengan hasil yang diperoleh, serta kepastian bahwa jerih payah mereka dihargai secara adil. Itulah makna sejati perayaan Hari Tani: menghadirkan keadilan bagi para penjaga kehidupan.

Oleh: Muh Imran, Aktivis KAMMI dan Pemerhati Kebijakan Publik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *