Sejumlah Aktivis Mengecam Tindakan Kepala SMA 1 Batuatas

LENTERA.PRESS, Buton – Penganiayaan dan ancaman yang dialami seorang guru honorer, Asman alias Mas Anton, di Kecamatan Batu Atas, Buton Selatan, kembali membuka luka lama tentang lemahnya posisi guru honorer dalam sistem hukum dan birokrasi pendidikan di Indonesia.

Peristiwa yang diduga dilakukan oleh Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Batu Atas bukan hanya persoalan pribadi, melainkan hukum, dan etika jabatan publik.

Secara hukum, tindakan mendobrak pintu rumah, mencekik leher, memukul wajah, hingga melontarkan ancaman pembunuhan, jelas bukan delik ringan.

Dalam perspektif hukum pidana, kasus ini bukan sekadar konflik internal, melainkan serangan terhadap hak hidup, rasa aman, dan martabat manusia.

Lebih jauh, kasus ini terjadi di hadapan keluarga korban. Artinya, ada dimensi psikologis yang tidak bisa diabaikan. UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) pun dapat menjadi acuan, karena ancaman dan kekerasan yang dilakukan di ruang privat korban menyebabkan trauma bagi istri dan anak-anaknya.

Namun, tantangan terbesar bukan hanya pembuktian di pengadilan, melainkan bagaimana aparat penegak hukum bersikap ketika berhadapan dengan pelaku yang memiliki status sosial dan jabatan publik.

Kepala sekolah adalah pejabat pendidikan, memiliki posisi otoritas di daerah, dan sering kali berhubungan dekat dengan birokrasi maupun elite lokal. Situasi ini berpotensi melahirkan impunitas jika penegakan hukum tidak dilakukan secara independen.

Sungguh miris, guru honorer yang sudah hidup dalam ketidakpastian nasib, gaji kecil, dan status tanpa jaminan, kini harus menghadapi kekerasan fisik dari Kepala SMA 1 Batu Atas, Alih-alih dihargai sebagai tenaga pendidik, justru diperlakukan seolah tidak bernilai apa-apa dihadapanya yang boleh dipukul dan diancam. Dimana letak martabat pendidikan kalau kepala sekolah menjadi tukang cekik?

Dinas Pendidikan Buton Selatan jangan menutup mata, karena ini bukan persoalan pribadi, melainkan persoalan institusi. Jika seorang kepala sekolah terbukti melakukan kekerasan, maka bukan hanya pidana yang menantinya, tetapi juga sanksi etik dan administratif. Dunia pendidikan tidak boleh membiarkan predator moral bercokol di balik jabatan kepala sekolah.

Hukum pun harus bicara lantang; equality before the law. Tidak peduli apakah pelakunya kepala sekolah, camat, atau pejabat lainya, semua sama di mata hukum. Jika polisi membiarkan kasus ini menguap, maka masyarakat hanya akan semakin yakin bahwa hukum di negeri ini memang tebang pilih.

Kasus ini bukan sekadar soal Anton sebagai korban. Ini soal marwah pendidikan, soal kewibawaan hukum, dan soal keberanian kita menolak kekerasan dari siapa pun, termasuk pejabat publik.

Karena kalau kepala sekolah saja bisa dengan enteng mencekik guru honorer, lalu hukum bungkam, jangan salahkan rakyat kalau akhirnya berkesimpulan; pendidikan kita sudah dicekik bersama martabat hukumnya.

Kasus ini harus menjadi momentum untuk menegakkan prinsip equality before the law. Jika aparat hukum serius, proses hukum harus berjalan transparan, cepat, dan adil. Jika tidak, maka masyarakat hanya akan melihat hukum sekali lagi tunduk pada kekuasaan, dan kekerasan pejabat publik akan dianggap lumrah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *