Oleh : Haidir Fitra Siagian
Melalui pemberitaan media, sering kali terjadi pengunduran diri pejabat pemerintah di Jepang yang mendapat perhatian masyarakat. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh konflik kepentingan antar sesama aktor politik dalam pemerintahan atau lembaga politik, tetapi juga oleh penyalahgunaan kekuasaan dan kesalahan kebijakan yang memberikan dampak signifikan bagi masyarakat.
Keputusan untuk mengundurkan diri ini mencerminkan budaya politik Jepang yang dipengaruhi kuat oleh nilai budaya malu, yang sudah lama menjadi bagian dari sejarah politik mereka. Dalam tradisi ini, pengunduran diri dianggap sebagai bentuk tanggung jawab moral bagi pejabat yang gagal memenuhi harapan masyarakat atau melanggar norma yang berlaku.
Penelitian Widarahesty dan Ayu (2013) yang berjudul “Fenomena Pengunduran Diri di Kalangan Pejabat Publik Jepang (Studi Tentang Budaya Politik Masyarakat Jepang Tahun 2007-2011)” menjelaskan bahwa konsep harakiri politik menggambarkan besarnya rasa tanggung jawab pejabat Jepang terhadap kelompoknya. Meskipun pengunduran diri sering kali terjadi setelah skandal atau kegagalan, hal ini menunjukkan bahwa di Jepang, pejabat publik diharapkan memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap institusi dan masyarakat.
Dalam konteks komunikasi politik, budaya pengunduran diri pejabat menjadi indikator adanya tanggung jawab moral, politik, atau hukum terhadap skandal atau kebijakan yang gagal. Media memainkan peran krusial sebagai watchdog yang mengawasi berbagai isu yang dapat meningkatkan tekanan tehadap pejabat untuk mundur. Media tidak lantas berfungsi sebagai saluran penyampaian informasi samata, tetapi juga sebagai pengawas yang menyoroti ketidakberesan dalam kebijakan pemerintahan.
Pemberitaan yang luas dan berulang dapat membentuk opini publik dan tentu ini akan memperkuat persepsi masyarakat bahwa suatu kebijakan atau tindakan pejabat itu bermasalah. Oleh itu, media memiliki kekuatan besar dalam membentuk wacana politik yang mempengaruhi perilaku pejabat publik, termasuk keputusan mereka untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Selain itu, media juga berfungsi sebagai wadah diskusi publik yang melibatkan berbagai aktor politik, akademisi, dan masyarakat luas. Di era digital saat ini, media sosial semakin memperkuat fungsi ini, memungkinkan setiap individu untuk berpartisipasi dalam pembentukan opini publik yang lebih cepat dan luas.
Isu-isu yang berkembang di media sosial sering kali mempercepat proses pembentukan tekanan terhadap pejabat untuk bertanggung jawab. Opini publik yang berkembang di media sosial dapat menambah beratnya beban moral bagi pejabat yang terlibat dalam skandal atau kebijakan yang gagal. Di sisi lain, media sosial juga memungkinkan penyebaran informasi secara masif, mempercepat viralitas isu, dan menciptakan diskusi yang intens di tengah-tengah khalayak.
Dalam hal ini, media menjalankan fungsi agenda setting, di mana media dapat menentukan isu yang menjadi fokus perhatian publik dan pemerintah. Isu yang diangkat oleh media bisa menjadi pusat perhatian yang menggiring opini masyarakat dan pemerintah untuk bertindak. Ketika media menyoroti suatu skandal atau kebijikan yang gagal, media secara tidak langsung memberikan tekanan moral kepada pejabat publik untuk mengundurkan diri agar memelihara citra pemerintah. Desakan masyarakat yang dihasilkan oleh pemberitaan ini dapat memaksa pejabat untuk mundur, meskipun mungkin tidak ada pelanggaran hukum yang jelas.
Di Indonesia, budaya pengunduran diri pejabat belum menjadi norma yang kuat. Pengunduran diri biasanya terjadi hanya dalam situasi yang sangat luar biasa, seperti adanya tekanan politik yang besar pun seperti adanya intervensi hukum. Meskipun beberapa kasus pengunduran diri terjadi, namun secara keseluruhan, pejabat publik Indonesia terlebih dahulu berusaha mempertahankan posisi mereka meskipun menghadapi tekanan.
Hal ini berbeda dengan negara-negara maju seperti Jepang dan Australia, di mana pengunduran diri sering dianggap sebagai cara untuk menunjukkan tanggung jawab dan integritas politik. Di Indonesia, faktor-faktor seperti loyalitas politik dan kekuatan partai ada kalanya lebih sering menpengaruhi keputusan pejabat untuk bertahan pada jabatannya meskipun ada desakan dari publik.
Lain padang lain belakang, lain lubuk lain ikannya. Berbeda dengan di Indonesia, di Australia, pejabat publik cenderung mengundurkan diri meskipun alasan pengunduran diri tidak selalu terkait dengan pelanggaran hukum yang besar. Pengunduran diri sering terjadi sebagai respons terhadap pelanggaran etika atau kesalahan yang tidak seberat pelanggaran hukum.
Sebagai contoh, ketika penulis masih berdomisili di Negara Bagian New South Wales beberapa tahun lalu, seorang menterinya terpaksa mengundurkan diri karena melanggar aturan lockdown selama pandemi COVID-19. Meskipun alasan pengunduran dirinya cukup rasional, yakni untuk memulihkan kesehatan setelah sembuh dari COVID-19, ia tetap merasa perlu mengundurkan diri sebagai bentuk tanggung jawab moral. Kasus serupa juga terjadi ketika seorang perdana menteri negara bagian mengundurkan diri karena pasangannya terlibat dalam kasus korupsi, meskipun ia sendiri tidak terlibat langsung dalam kasus tersebut.
Kasus terbaru di Australia adalah yang melibatkan Menteri Transportasi negara bagian New South Wales. Seorang pejabat didesak publik untuk segera mengundurkan diri setelah terungkap bahwa ia menggunakan kendaraan dinas untuk perjalanan pribadi. Perjalanan sejauh 446 km untuk makan siang di restoran mewah bersama teman-temannya memicu kritik tajam meskipun tidak ada pelanggaran hukum yang eksplisit.
Meskipun biaya perjalanan tersebut relatif kecil, penggunaan fasilitas pemerintah untuk keperluan pribadi tetap dianggap tidak etis oleh publik. Setelah mengungkapkan penyesalannya, pejabat tersebut berkomitmen mengganti biaya perjalanan dan menegaskan bahwa penggunaan fasilitas pemerintah untuk keperluan pribadi adalah kesalahan besar yang merusak citra pemerintahan.
Kasus ini menunjukkan bahwa pengunduran diri tidak hanya berkaitan dengan pelanggaran hukum, tetapi juga melibatkan pertimbangan etika dan integritas. Meskipun tidak ada aturan yang secara eksplisit melarang penggunaan kendaraan dinas untuk perjalanan pribadi, pejabat publik tetap harus mempertimbangkan dampaknya terhadap citra mereka dan pemerintah. Etika dan integritas menjadi hal yang sangat penting dalam pelayanan publik, di mana setiap keputusan yang diambil pejabat harus mempertimbangkan transparansi, akuntabilitas, dan penghindaran dari persepsi negatif.
Secara keseluruhan, pengunduran diri pejabat publik dapat memiliki dampak besar dalam komunikasi politik, terutama dalam merespons krisis kepercayaan dan pengelolaan citra. Keputusan untuk mundur sering kali dilihat sebagai simbol kepemimpinan yang beretika serta bagian dari strategi untuk memulihkan reputasi pribadi maupun institusi. Etika yang baik di kalangan pejabat publik berkontribusi pada pembangunan dan pemeliharaan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Manakala pejabat bertindak dengan integritas, mereka memperkuat kredibilitas pemerintah. Kepercayaan masyarakat sangat penting dalam komunikasi politik, karena komunikasi yang efektif bergantung pada kesediaan masyarakat untuk menerima pesan yang disampaikan oleh pejabat. Jika pejabat dinilai tidak etis, pesan mereka akan diragukan, dan komunikasi yang disampaikan akan kurang efektif, atau bahkan diabaikan khayalak.
Villa Butta Karaeng, Gowa, 09 Februari 2025
Penulis adalah Dosen Komunikasi Politik pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar / pernah jadi Ketua PRIM NSW Australia 2021-2022