Opini: Mengangkat Martabat Guru Menguatkan Masa Depan Bangsa

LENTERA.PRESS – Pendidikan di Indonesia ibarat rumah besar yang ingin kita bangun megah, tetapi pondasinya masih retak. Dari Sabang sampai Merauke, ketimpangan akses dan mutu pendidikan terasa begitu jelas. Di kota-kota besar hampir semua, anak-anak belajar di ruang berpendingin udara, akses internet lancar, dan buku pelajaran tersedia. Sementara di wilayah 3T, terdepan, terluar, tertinggal, sebagian sekolah bahkan tak punya bangunan yang layak, sinyal internet hanya angin lalu, dan guru berkualitas sulit ditemukan.

Masalah lain yang tak kalah serius adalah krisis pembelajaran. Hasil PISA 2022 yang dirilis akhir tahun 2023 menempatkan Indonesia di urutan enam terbawah dari 81 negara dalam kemampuan membaca, matematika, dan sains. Lebih menyedihkan lagi, kurang dari sepertiga siswa mampu menjawab soal pada level menengah. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, tapi cermin betapa banyak potensi anak-anak bangsa yang terhambat berkembang. Semua ini bermuara pada satu pertanyaan, di mana peran garda terdepan kita, para guru, dan bagaimana mereka kita perlakukan?

Guru adalah ujung tombak pendidikan. Mereka yang setiap hari berhadapan langsung dengan anak-anak, menanamkan pengetahuan sekaligus nilai kehidupan. Namun ironisnya, kesejahteraan banyak guru justru jauh dari kata layak. Survei IDEAS 2024 mencatat bahwa 74 persen guru honorer menerima gaji di bawah Rp2 juta per bulan, bahkan 20,5 persen hanya dibayar kurang dari Rp500 ribu. Problem itu tidak hanya ditemukan dilingkup sekolah negeri saja, kebanyakan juga dialami oleh guru-guru yang mengabdi di swasta. Di sisi lain, guru PNS bersertifikasi bisa memperoleh penghasilan hingga Rp15 juta. Perbedaan ini bukan hanya soal ketimpangan angka, tapi juga perasaan dihargai atau tidak. Bagaimana mungkin kita berharap guru memberi yang terbaik, ketika untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saja mereka harus memutar otak setiap bulan?

Kesejahteraan guru sangat erat kaitannya dengan kualitas pengajaran. Guru yang sejahtera biasanya lebih kreatif, bersemangat, dan mau terus mengasah kemampuan. Sebaliknya, guru yang terhimpit oleh tumpukan tugas administrasi, berpenghasilan rendah, dan minim fasilitas kerap kehilangan semangat untuk memberikan pengajaran terbaiknya. Di daerah terpencil, kondisi ini lebih berat lagi, jarak tempuh ke sekolah yang jauh, infrastruktur minim, dan biaya hidup yang tinggi membuat profesi ini semakin menantang. Tak heran, kualitas pendidikan di wilayah-wilayah tersebut berjalan lambat.

Pengalaman negara-negara maju menunjukkan bahwa kualitas pendidikan akan meningkat ketika profesi guru ditempatkan pada posisi yang dihargai dan dihormati secara layak. Mereka tidak hanya diberi gaji layak, tetapi juga akses pelatihan berkelanjutan, lingkungan kerja yang mendukung, dan kebebasan berinovasi. Jika kita mau jujur, inilah peta jalan yang seharusnya diikuti Indonesia. Kita harus menutup jurang kesejahteraan antara guru honorer dan PNS, memangkas beban administratif yang tidak relevan, dan memastikan pelatihan yang mereka ikuti benar-benar membantu praktik mengajar, bukan sekadar formalitas.

Selain itu, teknologi harus dimanfaatkan secara tepat guna. Platform pembelajaran hybrid, yang bisa digunakan baik online maupun offline, perlu diperluas agar anak-anak di daerah tanpa internet tetap bisa belajar dengan materi berkualitas. Program pemerintah atau kementerian yang mendukung kesejahteraan guru dan sekolah harus benar-benar merata, bukan hanya berhenti di kota-kota besar. Untuk guru di daerah 3T, insentif khusus seperti tunjangan tambahan, perumahan layak, dan fasilitas transportasi bisa menjadi penyemangat. Semua ini membutuhkan keberanian politik untuk mengalokasikan anggaran pendidikan yang lebih fokus pada kualitas sumber daya manusia, bukan sekadar membangun gedung atau mencetak buku.

Pada akhirnya, kemajuan pendidikan Indonesia akan sangat ditentukan oleh cara kita memperlakukan guru. Mereka bukan hanya menyampaikan materi pelajaran, melainkan juga menjadi pendorong lahirnya kemajuan peradaban. Jika kita ingin generasi mendatang tumbuh cerdas, kritis, dan berdaya saing, mulailah dengan memastikan garda terdepan itu berdiri kokoh, sejahtera dalam hidupnya, dihargai dalam profesinya, dan didukung dalam perjuangannya. Pendidikan yang maju bukanlah mimpi, selama kita membangunnya dari pondasi yang benar: guru yang bahagia dan anak-anak yang merdeka belajar.

Oleh: Budi Setiawan

2 thoughts on “Opini: Mengangkat Martabat Guru Menguatkan Masa Depan Bangsa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *