LENTERA.PRESS – Di pesantren, hidup dua kultur yang sering berjalan beriringan: kultur takzim dan kultur feodal. Keduanya tampak serupa dari luar — sama-sama menampilkan penghormatan murid kepada guru, santri kepada kiai — tetapi sejatinya berangkat dari dua sumber nilai yang berbeda. Takzim lahir dari ajaran Islam, dari akhlak ilmu yang menuntut penghormatan kepada pembawa ilmu dan penuntun ruhani. Sementara feodalisme tumbuh dari akar tradisi sosial, dari warisan budaya hierarkis yang menempatkan manusia pada derajat yang berbeda karena keturunan, status, atau kekayaan.
Selama berabad-abad, dua kultur ini hidup berdampingan di pesantren. Dalam konteks tradisi, keduanya sering kali tak dibedakan secara sadar. Santri menunduk, mencium tangan kiai, bahkan takut berbicara di hadapan guru, bukan semata karena kesadaran akan adab, tetapi kadang karena struktur sosial yang menciptakan jarak simbolik antara “yang alim” dan “yang diajari”. Ketika masyarakat Muslim Indonesia mulai memasuki era modern, berpendidikan tinggi, dan berpikir semakin kritis, batas antara adab dan feodalisme ini mulai dipertanyakan.
Masalahnya, sebagian kiai dan tokoh agama — mungkin tanpa disadari — menikmati penghormatan feodal itu. Mereka merasa wajar ketika dimuliakan bukan karena ilmu, tetapi karena nama besar pesantren, garis keturunan ulama, atau karena dianggap “berberkah” secara sosial. Padahal, dalam pandangan Islam, kehormatan tidak diwariskan, tetapi diusahakan melalui ilmu dan amal. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi melihat hati dan amal kalian.”
(HR. Muslim)
Dalam tradisi keilmuan Islam, adab kepada guru adalah bagian dari iman. Para ulama terdahulu selalu mengajarkan bahwa keberkahan ilmu datang dari ketulusan menghormati guru. Namun penghormatan ini memiliki batas yang jelas: ia diberikan karena ilmu dan akhlak, bukan karena silsilah atau status sosial. Ketika penghormatan bergeser menjadi pemujaan, maka ia telah melintasi garis dan masuk ke wilayah feodalisme.
Asal-usul Feodalisme dalam Pesantren
Feodalisme dalam pesantren bukan semata hasil penyimpangan dari nilai Islam, tetapi juga pengaruh sosiokultural Jawa dan sistem kerajaan lama. Dalam sistem itu, hierarki adalah segalanya: raja, bangsawan, dan rakyat memiliki jarak yang tidak boleh dilanggar. Ketika Islam datang dan pesantren berkembang dalam kultur tersebut, sebagian nilai hierarkis itu ikut terbawa ke dalam struktur sosial pesantren.
Misalnya, gelar “kiai” di Jawa atau “tuan guru” di Lombok dan Kalimantan, sering kali dikaitkan dengan status keturunan tertentu. Anak kiai otomatis disebut “gus” dan diberi penghormatan istimewa, bahkan sebelum ia memiliki ilmu yang sepadan. Tradisi ini tidak sepenuhnya salah jika dilihat dari sisi kultural, namun berisiko menumbuhkan sikap feodal, yaitu penghormatan karena darah dan bukan karena kapasitas.
Feodalisme juga tampak dalam pola relasi sosial antara kiai dan masyarakat. Dalam beberapa kasus, masyarakat lebih takut “durhaka kepada kiai” daripada berbuat salah terhadap Allah. Ini bentuk kekeliruan epistemologis: otoritas spiritual digeser menjadi otoritas personal. Padahal Islam menempatkan ulama sebagai pewaris nabi, bukan pengganti nabi. Pewaris tidak boleh menuntut posisi kenabian, tetapi meneladani amanahnya.
Mengembalikan Pesantren ke Jalan Adab
Untuk mengembalikan pesantren ke jalur yang benar, perlu pembedaan tegas antara takzim dan feodalisme. Takzim adalah bentuk cinta, penghormatan, dan pengakuan terhadap sumber ilmu. Ia lahir dari kesadaran rohani. Sedangkan feodalisme adalah bentuk penghambaan sosial yang didasarkan pada struktur kuasa dan simbol status.
Takzim mengajarkan santri untuk mencintai ilmu dan menghargai guru karena ketulusan dan integritasnya. Feodalisme justru membungkam santri agar tidak bertanya, tidak mengkritik, dan tidak menantang pandangan yang keliru — seolah kritik adalah bentuk kurang ajar. Padahal dalam tradisi intelektual Islam, kritik adalah bagian dari adab. Imam Malik tidak melarang muridnya berbeda pendapat, bahkan Imam Syafi’i pun sering mengoreksi guru-gurunya dengan sopan. Adab bukan berarti diam, tetapi berbicara dengan hormat.
Pesantren seharusnya menjadi tempat yang melahirkan ulama pembebas, bukan ulama penguasa. Ulama pembebas menjaga nurani umat, menghidupkan akal kritis, dan memerdekakan pikiran dari taklid buta. Sedangkan ulama penguasa justru memperkuat struktur feodal dengan menuntut penghormatan tanpa memberi teladan ilmu.
Dalam konteks ini, pesantren perlu berbenah.
Pertama, mengembalikan posisi ilmu sebagai pusat penghormatan. Seorang guru dihormati bukan karena jubahnya, tetapi karena kedalaman pemikirannya dan ketulusan pengabdiannya.
Kedua, mendidik santri agar takzim dengan akal sehat, bukan takzim yang membungkam nurani.
Ketiga, menumbuhkan kesadaran egaliter dalam keilmuan: bahwa semua manusia sama di hadapan Allah, dan yang membedakan hanyalah ketakwaan serta amalnya.
Kesimpulan
Pesantren adalah benteng moral umat, dan di dalamnya terkandung dua kekuatan: spiritualitas dan kesadaran sosial. Namun pesantren akan kehilangan makna bila spiritualitasnya dirasuki feodalisme. Karena itu, tugas generasi pesantren hari ini bukan hanya menjaga tradisi, tetapi juga menyucikan tradisi dari unsur yang mencederai nilai Islam.
Islam menegaskan: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13).
Maka ukuran kemuliaan bukanlah keturunan, jabatan, atau simbol, melainkan takwa dan ilmu.
Jika pesantren kembali menempatkan ilmu dan akhlak sebagai dasar penghormatan, maka takzim akan menjadi adab, bukan feodalisme. Pesantren akan kembali menjadi rahim peradaban — tempat lahirnya manusia merdeka yang tunduk hanya kepada kebenaran dan kepada Allah semata.
Oleh: Muh Imran, Pencinta Dakwah, Direktur Rumah Tahfidz Qur’an Imam Imran ( RTQ Imam Imran), Pengamat Kebijakan Publik


**flowforce max**
flowforce max delivers a forward-thinking, plant-focused way to support prostate health—while also helping maintain everyday energy, libido, and overall vitality.
**neuro genica**
neuro genica is a dietary supplement formulated to support nerve health and ease discomfort associated with neuropathy.
**cellufend**
cellufend is a natural supplement developed to support balanced blood sugar levels through a blend of botanical extracts and essential nutrients.
**prodentim**
prodentim is a forward-thinking oral wellness blend crafted to nurture and maintain a balanced mouth microbiome.
**revitag**
revitag is a daily skin-support formula created to promote a healthy complexion and visibly diminish the appearance of skin tags.